“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

Selasa, 15 Mei 2012

Kewajiban Berdakwah


TUJUAN

· Peserta mamahami makna dakwah baik secara bahasa maupun istilah  
· Peserta mengetahui keutamaan dan pentingnya dakwah  



METODE PENDEKATAN
· Ceramah dan Diskusi  



RINCIAN BAHASAN

Pengertian Dakwah
   Secara bahasa dakwah artinya adalah undangan atau ajakan. Secara istilah artinya adalah mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan bantahan (argumentasi) dengan cara yang baik sampai manusia itu keluar dari kegelapan jahiliyyah kepada cahaya Islam (kehidupan Islami), mengkafirkan thoghut dan beriman kepada Allah semata (16:125; 2:256)).


Tujuan dakwah  

· Tujuan akhir dari dakwah adalah mengembalikan manusia agar menyembah Allah semata.  



Objek dakwah  

· Objek dakwah adalah seluruh umat manusia.  



Metode dakwah  

· Metode yang diajarkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah dengan menggunakan hikmah dan pelajaran yang baik. Hikmah adalah perkataan yang tepat, tegas, dan benar, yang dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil. Aspek tepat dalam hal ini berkaitan dengan penggunaan kabar gembira (basyiron) dan kabar peringatan (nadziroh). Yang dimaksud dengan pelajaran yang baik dalam dakwah adalah berdakwah dengan seluruh kepribadian juru dakwah. Dalam hal ini seorang da'I harus memiliki akhlaq yang kokoh dan harus menjadi suri teladan bagi masyarakatnya.  



Target dakwah :  


· Agar manusia mengingkari thaghut (Illah selain Allah) dan beriman kepada Allah.  

· Agar manusia keluar dari kegelapan (jahiliyyah kebodohan terhadap Allah dan Islam) menuju cahaya Islam.  



Keutamaan dakwah

· Merupakan perbuatan / perekataan yang terbaik (41:33; 33:45-46).  

· Merupakan salah satu jalan menuju kebaikan. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda , "Barangsiapa menyuruh kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala sepeti pahala orang yang mengikutinya tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka." (HR. Muslim). Rasulullah SAW pernah bersabda, kepada Ali ra : "Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang melalui kamu, itu lebih baik daripada uunta merah." (HR. Muttafaqun 'alaih).  



Pentingnya Dakwah

· Merupakan kebutuhan yang mendesak, karena tanpa dakwah manusia akan rusak dan tanpa aturan. Di lain pihak banyak penyeru / pengajak ke arah kebathilan yang tidak henti-hentinya juga berdakwah untuk kebatilan.  

· Merupakan kebutuhan sosial, yaitu dengan alasan :  

· Karena manusia membutuhkan orang yang menjelaskan kepada mereka apa-apa yang diperintahkan oleh Allah (36:6; 17:15).  

· Karena kondisi kehidupan umat saat ini diwarnai oleh kerusakan –kerusakan moral, dan para pelakunya ingin agar kerusakan-kerusakan terssebut tersebar di masyarakat (4:89; 9:67).  

· Kewajiban yang dituntut syar'i.  

· Da'wah adalah wajib atas setiap muslim (3:104-110; 9:71). Dari Nu'man bin Basyir ra, dari Nabi SAW, ia berucap bahwa Nabi SAW bersabda, "Perumpamaan orang yang senantiasa melaksanakan hukum-hukum Allah dan orang yang terperosok di dalamnya adalah laksana orang-orang yang membagi tempat dalam suatu bahtera, di mana ada sebagian orang yang duduk di atasnya, ada pula yang di bawahnya. Ketika orang-orang yang ada di bagian bawah memerluka air, tentu mereka harus melintasi orang-orang yang ada di bagian atas. Kemudian mereka berkata, "Kami akan lubangi saja bagian bawah ini." Jika mereka (orang-orang yang ada di bagian atas) membiarkan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang ada di bagian bawah, niscaya akan binasalah semua. Namun bila mereka mencegah perbuatan mereka, maka akan selamat dan selamatlah semua." (HR. Imam Bukhari dan Tirmidzi)  

· Dari Abu Sa'is al-Khudri ra, ia berucap, Kudengar Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu pula, maka ubahlah dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman." (HR. Imam Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).  

· Adanya ancaman bagi yang tidak berdakwah. Lihat QS 2:174; 3:187; 16:44.  

· Merupakan tugas kita untuk meneruskan misi perjuangan para nabi dan rasul (42:13).  

Sabtu, 24 Desember 2011

Al Quran Di Bakar Kenapa Mesti Marah?

“Gila!” rutukku sesaat setelah membaca berita pembakaran Al-Quran yang dilakukan dua pendeta di Amerika, “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki-ku keluar tanpa kontrol.



“Setan!” aku berteriak sekali lagi.



Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapanku! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.



Jelas, aku berang mendengar ucapannya. Emosiku naik pitam. Dadaku turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulutku. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”



“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajahku. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”



Napasku turun naik, mataku memerah, tanganku mengepal. “Terkutuklah kau!” teriakku lantang.



“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.



Tiba-tiba aku tersentak. Tiba-tiba aku merasa harus menemukan Al-Quran milikku yang entah aku simpan di mana, sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Aku terus mencari. Di manakah aku menyimpan Al-Quranku? Aku membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quranku? Aku mulai resah mencari di mana Al-Quranku. Aku ke ruang tamu, ke ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Aku memeriksa ke belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, aku tak menemukan Al-Quranku! Di manakah aku menyimpan Al-Quranku?



“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”



Aku mulai panik dan resah, kemarahanku mulai pudar, ternyata aku tak bisa menemukan Al-Quranku sendiri.



“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.



Dadaku berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti aku mulai menangis—tetapi aku belum menyerah untuk terus mencari Al-Quranku. Di mana Al-Quranku? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua di kamar belakang, aku kira itulah Al-Quranku, setelah aku ambil ternyata bukan: Life of Mao. Aku kecewa. Aku terus mencari sambil diam-diam air mataku mulai meluncur di tebing pipi.



“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaranku. Tetapi kini aku tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dadaku. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup aku tahan.



Akhirnya aku menyerah. Aku tak menemukan Al-Quranku di mana-mana di setiap sudut rumahku!



Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatapku dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” Kemudian ia tertawa, “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak mempedulikannya selama ini?”



Aku terus menangis. Dadaku berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dadaku, mendesir gamang ke seluruh persendianku.



Tiba-tiba aku ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quranku ada di situ!



Aku bergegas bangkit dari tubuhku yang tersungkur, aku berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, aku segera ingat di situlah aku menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika aku hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… Aku mendapatkannya: Al-Quranku!



Aku menatap Al-Quranku dengan tatap mata rasa bersalah. Aku mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian aku mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecilku belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dadaku bergemuruh, air mataku menderas.



Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.



Aku masih mendekap Al-Quranku, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.



“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!



“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!



“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Al-Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”



Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!



Aku menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidupku. Aku melacaknya dalam ingatanku yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diriku?



“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”



Tuan Setan tertawa lepas.



“Maafkan…,” suaraku tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu aku bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.



“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.



Aku mencari masjid; Aku ke mal, ke pasar, ke terminal, ke sekolah, ke mana-mana… Aku ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang disia-siakan. Aku ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Aku masih bergegas dengan langkah yang galau. Aku ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan aku sendiri tak memahaminya? Aku ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?



Aku terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?



Aku terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskah aku melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah aku harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah aku kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika aku jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?



“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”



Aku terdiam mendengar kata-kata Tuan Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”



Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang telah sengaja membakar Al-Quranmu!”



Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.



__Fahd Djibran__

Kamis, 01 Desember 2011

12345 Kamis, 01 Desember 2011 Aktivis Merindukan Rumah.. ? Sudahkah Birul Walidain... ?




"Dimana rumahmu Nak?"

Orang bilang anakku seorang aktivis . Kata mereka namanya tersohor dikampusnya sana . Orang bilang anakku seorang aktivis.Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat . Orang bilang anakku seorang aktivis .Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak ? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
Anakku,sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis .Dengan segala kesibukkanmu,ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat.Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak ? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak,tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku,kita memang berada disatu atap nak,di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini .Tapi kini dimanakah rumahmu nak?ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini .Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah,dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu .Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut.Mungkin tawamu telah habis hari ini,tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu . Ah,lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti,bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu . Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau,katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal,andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini,memastikan engkau baik-baik saja,memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu.Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak,tapi bukankah aku ini ibumu ? yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku..
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu,engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu . Engkau nampak amat peduli dengan semua itu,ibu bangga padamu .Namun,sebagian hati ibu mulai bertanya nak,kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak ? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu ? kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak ? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak ?
Anakku,ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu . Memang nak,menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat,tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan .Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?
Anakku,ibu mencoba membuka buku agendamu .Buku agenda sang aktivis.Jadwalmu begitu padat nak,ada rapat disana sini,ada jadwal mengkaji,ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting.Ibu membuka lembar demi lembarnya,disana ada sekumpulan agendamu,ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya,masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana.Ternyata memang tak ada nak,tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini.Tak ada cita-cita untuk ibumu ini . Padahal nak,andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu,putra kecilku..
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka,mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.Boleh ibu bertanya nak,dimana profesionalitasmu untuk ibu ?dimana profesionalitasmu untuk keluarga ? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat ?
Ah,waktumu terlalu mahal nak.Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta,ibu,ayah,kaka dan adik . Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik .Dan hingga saat itu datang,jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan.Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan .Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai

Minggu, 21 Agustus 2011

Doa Penutup Majelis Menghapus Dosa Majelis

Salah satu ciri utama orang bertaqwa ialah semangatnya untuk memohon ampun kepada Allah. Ia sangat menyadari jika dirinya sebagaimana manusia lainnya tidak luput dari dosa dan kesalahan. Maka Muttaqin senantiasa mencari jalan untuk selalu diampuni segenap dosanya oleh Allah. Bila ia tahu ada suatu amal-perbuatan yang dapat menghapus dosanya maka dengan segera ia akan kerjakan bila ia sanggup.

“Dan (Muttaqin juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran ayat 135)

Bila manusia sedang berkumpul biasanya mereka tidak lepas dari pembicaraan satu sama lain. Setiap kali manusia berkumpul lalu terlibat dalam suatu pembicaraan maka itu merupakan sebuah majelis. Setiap kali orang berkumpul banyak sekali hal yang bisa mereka bicarakan. Pembicaraan bisa berkisar dari hal-hal bermanfaat hingga hal-hal yang tidak bermanfaat.

Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Mendengar sangat memperhatikan masalah majelis. Islam tidak membenarkan sekumpulan orang terlibat dalam pembicaraan yang sia-sia apalagi mengandung dusta dan kebatilan. Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengkaitkan masalah kualitas pembicaraan seseorang dengan keimanan kepada Allah dan Hari Akhir.

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Barangsiapa beriman kpd Allah dan Hari Akhir hendaklah bicara yang baik atau diam.” (HR Bukhari-Muslim)

Dalam suatu kesempatan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberi nasihat sorang sahabat mengenai pentingnya menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia apalagi munkar.

Dari Sufyan Abdullah Ats-Tsaqafy radhiyallahu ’anhu ia berkata: ”Aku berkata: “Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang harus aku pelihara.” Beliau menjawab: “Katakanlah: ‘Rabbku Allah kemudian beristiqamahlah’.” Aku kembali bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau paling khawatirkan terhadap diriku?” Beliau lalu memegang lidahnya sendiri dan bersabda: “Ini (lisan)”. (HR Tirmidzi 2334)

Oleh sebab itu Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan ummatnya agar senantiasa mengakhiri setiap majelis –apapun bentuk majelisnya- dengan membaca do’a kaffaratul-majelis atau do’a penutup majelis. Sebab dengan demikian maka dosa-dosa pembicaraan yang dilakukan –sengaja maupun tidak- di dalam majelis tersebut akan dihapus oleh Allah melalui do’a tersebut.

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ’anhu ia berkata: “Jika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam hendak bangun dari suatu majelis beliau membaca: Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika “Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagiMu, aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Engkau aku mohon ampun dan bertaubat kepadaMu". Seorang sahabat berkata: “Ya Rasulullah, engkau telah membaca bacaan yang dahulu tidak biasa engkau baca?” Beliau menjawab: “Itu sebagai penebus dosa yang terjadi dalam sebuah majelis.” (HR Abu Dawud 4217)

Karakteristik Iman dan Jalannya


Pengertian iman
Berdasarkan H.R. Ibnu Majah, iman mengandung pengertian "Dibenarkan dalam hati, dinyatakan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi iman tidak cukup sebatas pembenaran dan pengucapan tanpa berwujud amal saleh dari anggota badan [49:14].

Karakteristik Iman
(1) Kualitas keimanan seseorang berbeda-beda, memiliki tingkatan-tingkatan sebagaimana pula kekafiran. Puncak tertinggi keimanan adalah ketaqwaan yang dilandasi oleh mahabbah (kecintaan) yang tinggi pada Allah. Para ulama mendefinisikan taqwa dengan "Hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintah-Nya". Sebagian ulama mendefinisikan taqwa dengan mencegah diri dari azab Allah dengan membuat amal saleh dan takut kepada-Nya di kala sepi atau terang-terangan. Sayyid Qutb berkata dalam "Fi Zhilalil Qur'an" bahwa taqwa adalah kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus-menerus selalu waspada dan hati-hati jangan sampai kena duri jalanan...jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan, ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk ditakuti... dan masih banyak duri-duri lainnya.


· Taqwa terbentuk dari suatu proses pengabdian (ibadah) yang intens [2:21, 2:183]. Taqwa merupakan suatu fase kematangan yang sempurna, sebagai hasil interaksi antara iman, Islam dan ikhsan. Taqwa adalah ilmu dan amal, naluri, hati dan etika. Dengan taqwa, hati menjadi terkondisi untuk selalu berdzikir pada Allah dan anggota-anggota badan berinteraksi secara seimbang dan harmonis. Ketaqwaan hanya Allah anugrahkan kepada orang-orang yang berserah diri, beraml dan berbuat baik [47:17] dalam bentuk petunjuk. Sedangkan petunjuk berpangkal dari keimanan kepada Allah SWT [64:11].



(2) Kondisi keimanan seseorang tidak selalu stabil, sebagaimana sabda Rasulullah: "Iman itu kadang-kadang naik kadang-kadang turun.Maka perbaruilah iman kalian dengan Laa ilaaha illallah." (HR. Ibnu Islam)

Jalan Menuju Keimanan
Jalan menuju keimanan tidaklah mudah, senantiasa selalu bertentangan dengan hawa nafsu manusia, mendaki lagi sukar [90:10-11].Rasulullah menggambarkan "Surga itu dikelilingi oleh berbagai hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi berbagai hal yang tidak menyenangkan." (HR.Muslim)
Untuk mempertahankan kondisi keimanan dalam rangka mencapai ketakwaan diperlukan istiqomah dan kesungguhan hati (mujahadah) [29:69, 9:20].
Dengan tabiat jalan keimanan yang demikian, banyak orang tidak sanggup beristiqomah dalam mempertahankan keimanannya karena mementingkan hawa nafsunya sehingga terjerumus dalam kemusyrikan atau hal-hal yang dapat merusak keimanan.
Karena itu, bukanlah hal yang mustahil jika seseorang yang beriman pada waktu kemarin, hari ini dapat tergelincir dalam kekafiran.Keimanan seseorang tidak dapat dijamin keabadiannya, kecuali jika selalu dipelihara [5:54].

Konsekuensi Keimanan
Orang yang beriman akan diuji, karena hal ini merupakan sunatullah untuk membuktikan benar tidaknya keimanan seseorang [29:2-3].Bentuk ujian dapat berupa kesenangan atau kesusahan [2:155-156, 21:35, 39:49, 89:15-19].
Bagi orang beriman, setiap kesenangan hidup hanya akan meningkatkan rasa syukurnya ke hadirat Allah SWT dan setiap musibah dan cobaan hanya akan meningkatkan kesabaran dan keimanannya terhadap Allah SWT seperti sabda Rasulullah SAW: "Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman.Jika ia diberi karunia, ia bersyukur dan itu kebaikan baginya.Dan jika ia tertimpa musibah, ia sabar dan tawakal dan itu(pun) kebaikan baginya." Cara mensikapi bentuk-bentuk ujian, lihat QS. 2:156-167; 3:15-17.

REFERENSI
· Dr.Ali Gharisah, Beriman yang Benar, GIP
· Abdul Majid Aziz Azzindani, Jalan Menuju Iman


 
Powered by Blogger